Yeskel Belau |
Sebelum dilantik, Bupati
terpilih Kabupaten Intan Jaya Natalis Tabuni mengijinkan perusahaan Tambang
emas beroperasi di Intan Jaya. Hal ini diduga sebagai penyelesaian masalah
individual. Bukan pertama-tama sebagai upaya mendatangkan
Natalis Tabuni & Yan Kobogau |
pendapatan Daerah.
Ada apa ini? Ini sebuah pertanyaan sebesar tubuh manusia Intan Jaya. Dalam konteks ini kedudukan pertanyaan tersebut sama penting dengan tubuh manusia. Karena itu, pertanyaan ini harus dijawab. Untuk itu sebelum dijawab oleh Pemerintah Intan Jaya yang sebentar lagi dilantik, di sini kami mengemukakan pandangan kami terlebih dahulu. Pertanyaan “ada apa ini?” amat luas. Maka kami menyempitkannya dengan pertanyaan “ada hubungan apa antara perusahaan dan Bupati terpilih Natalis Tabuni, dalam pemilihan umum Darerah Intan Jaya?
Kami mengajukan pertanyaan tersebut dengan melihat reaksi Bupati terpilih yang begitu cepat mengijinkan perusahaan beroperasi di Intan Jaya sebelum dilantik sebagai Bupati Definitif, dengan alasan mendatangkan pendapatan Daerah. Bagi kami kebijakan ini amat lucu bahkan memalukan.
Kami menduga peristiwa itu terjadi adanya hubungan kerja sama antara perusahaan dan Bupati terpilih Natalis Tabuni. Bahwasannya bakal Bupati telah melakukan “PERJANJIAN” dengan Perusahaan dalam PEMILUKADA Intan Jaya Tahun 2012. Pastilah bahwa Bupati terpilih telah menjual JANJI untuk eksploitasi SDA Intan Jaya. Dan, perusahaan meluncurkan “DANA” dalam jumlah besar guna membeli JANJI yang ditawarkan. Jika benar demikian, maka proses PEMILUKADA Intan Jaya didominasi oleh kekuatan pihak perusahaan. Ada pun keyakinan bahwa tindakan Bupati terpilih ini “membuktikan” bahwa ia terpilih bukan karena dipilih dan diangkat oleh masyarakat Intan Jaya, tetapi berkat kekuatan perusahaan.
Perjanjian adalah sebuah kesepakatan antar dua belah pihak yang saling menyatakan kesediaannya untuk diwujudkan. Kami yakin perjanjian dari pihak perusahaan sudah dinyatakan dan kini kita hadapi perwujudan janji Bupati terpilih. Namun dari pihaknya jelas bahwa perusahaan diijinkan, itulah pemenuhan janjinya. Karena itu, kami melihat “PERJANJIAN” Bupati terpilih Natalis Tabuni bukan semata-mata untuk mengijinkan perusahaan masuk di Intan Jaya guna mengeksploitasi SDA. Tetapi juga merupakan PERJANJIAN untuk menjual tuan tanah, alam dan manusia Intan Jaya (Moni-Migani).
Keyakinan tersebut berdasar pada tiga alasan fundamental. Alasan Pertama: Belajar dari pengalaman. Sejauh ini kami melihat perusahaan mana pun tidak pernah bertanggung jawab secara konfrehensif terhadap kesejahteraan pemilik SDA dan alam sekitarnya. Ada banyak contoh yang bisa dilihat di Papua, Indonesia dan dunia. Tetapi tidak perluh jauh-jauh. Buka mata dan lihat kerusakan alam Intan Jaya akibat eksploitasi “PT Mine Cervice” yang pernah bermarkas di ujung barat Air port Intan Jaya. Pandanglah alam disekelilingnya. Tidakkah sampah non organik berserakan di alam yang alamih? Adakah pohon besar yang bisa diolah? Dapatkah sungai Wabu tetap terlihat tanpa lumut berbauh? Dapatkah perusahaan menggantikan gunung “Bula” yang sudah ompong?
Kemudian muluskah penyelesaian masalah? Dalam hal ini kami pernah mendengar bahwa penyelesaian masalah kerusakan alam itu sangat ambur-aduk dan tidak tuntas. Meskipun para tokoh masyarakat Moni-Migani berulang kali menuntut tanggung jawa moral dari perusahaan. Tetapi tuntutan itu tidak ditanggapi secara serius sampai detik ini. Jika demikian bukankah masyarakat dan alam menjadi korban?
Alasan kedua: Usia Kabupaten Intan Jaya masih “balita”. Sebagai Kabupaten balita mestinya berkembang secara alamih (proses). Berproses melewati tahap-tahap perkembangan menuju kedewasaan. Sehingga pada tahap dewasa ia tidak merindukan masa lalunya yang muncul akibat kurang menikmati masa mudanya. Kini, kami mengkawatirkannya. Sebab Kabupaten Intan Jaya terkesan melompat ke dunia kedewasaan. Padahal masyarakat Intan Jaya belum siap untuk menerima dan bersaing. Contoh; pada tahun 2010 kami melihat secara langsung perubahan ideologi masyarakat secara drastis. Di mana ideologi masyarakat tradisional produktif beralih menjadi masyarakat konsumeris dan materialis instan. Kami melihat kebanyakan masyarakat nongkrong saja di tempat-tempat umum. Seperti bandar udara, pasar, kantor Bupati dan di pingiran jalan (pengoperasian proyek jalan dan kayu). Masyarakat ini terlihat malas berkebun. Terlihat mentalitas untuk hidup dari hasil penjualan tanah, pohon dan sumber alam lainnya. Dan, hasilnya bukan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan primer. Tetapi untuk berjudi, bersenang-senang di kota, mabuk-mabukan dan transportasi ojek. Akibat dari perubahan ideologi ini amat terasa dengan fenomena global kelaparan di kabupaten Intan Jaya sampai dengan saat ini.
Alasan ketiga: Minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) Intan Jaya. Pertanyaannya, Berapa banyak SDM lokal yang telah disiapkan untuk bekerja sebagai tenaga inti perusahaan? Supaya dengan mudah menjamin kontrolan keseimbangan antara eksploitasi – rehabilitasi alam dan eksploitasi – kesejahteraan hidup masyarakat pemilik SDA. Kami tahu realitas tingkat pendidikan masyarakat Intan Jaya untuk hidup berkecimpung dalam persaingan ekonomi dan disegala bidang pemerintahan. Itu amat minim. Apa lagi skill untuk bekerja secara profesional di perusahaaan yang diijinkan.
Pada hakekatnya kami tidak bermaksud menghalangi pembangunan. Tetapi kami menginginkan agar kebijakan pimpinan birokrasi terpilih itu jelas dan sesuai dengan tingkat kemapanan masyarakat untuk menerima, bersaing dan berkembang. Sehingga masyarakat, SDA dan alam di sekitarnya tidak menjadi korban.
Berkaitan dengan adanya ijin dari Bupati terpilih Intan Jaya untuk eksploitasi SDA itu terus akan kami pantau. Tetapi ternyata Perusahaan tetap diijinkan masuk beroperasi SDA dalam tahun-tahun yang dekat tanpa kordinasi dengan masyarakat Intan Jaya (termasuk mahasiswa), maka kami akan menilainya sebagai tindakan yang bersifat individual. Selain itu kami akan kordinasikan dengan perhimpunan mahasiswa dan masyarakat Intan Jaya yang berniat baik untuk melindungi alam dan peduli pada perkembangan mayarakat Intan Jaya, lalu bertindak. Karena bagi kami hal itu bukan untuk mendatangkan kontribusi positif dalam pembangunan daerah. Tetapi lebih bersifat pada penyelesaian masalah individual (ego).
Demi mewujudkan pembangunan Daerah secara konfrehensif, tuntas dan mendatangkan pendapatan Daerah serta menghindari kritikan akibat kebijakan yang kurang kontekstual, kami sarankan agar Pemerintah Intan Jaya terpilih segera komunikasikan hal itu dengan:
1. Pimpinan SKPD bidang yang hendak dikembangkan
2. Tokoh Dewan Adat
3. Tokoh Agama
4. Tokoh Pemuda
5. Tokoh perempuan dan
6. Mahasiswa
Kami menjamin keotentikan kebijakan yang dihasilkan Pemerintah, jika dikomunikasikan dengan enam komponen masyarakat tersebut. Sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dijalankan secara mulus, tanpa menuai kritikan dan ketegangan di berbagai pihak. Dengan demikian pembangunan Daerah dan manusia berjalan dengan harmonis serta kesejahteraan semakin dirasakan oleh setiap komponen masyarakat Intan Jaya.
Ada apa ini? Ini sebuah pertanyaan sebesar tubuh manusia Intan Jaya. Dalam konteks ini kedudukan pertanyaan tersebut sama penting dengan tubuh manusia. Karena itu, pertanyaan ini harus dijawab. Untuk itu sebelum dijawab oleh Pemerintah Intan Jaya yang sebentar lagi dilantik, di sini kami mengemukakan pandangan kami terlebih dahulu. Pertanyaan “ada apa ini?” amat luas. Maka kami menyempitkannya dengan pertanyaan “ada hubungan apa antara perusahaan dan Bupati terpilih Natalis Tabuni, dalam pemilihan umum Darerah Intan Jaya?
Kami mengajukan pertanyaan tersebut dengan melihat reaksi Bupati terpilih yang begitu cepat mengijinkan perusahaan beroperasi di Intan Jaya sebelum dilantik sebagai Bupati Definitif, dengan alasan mendatangkan pendapatan Daerah. Bagi kami kebijakan ini amat lucu bahkan memalukan.
Kami menduga peristiwa itu terjadi adanya hubungan kerja sama antara perusahaan dan Bupati terpilih Natalis Tabuni. Bahwasannya bakal Bupati telah melakukan “PERJANJIAN” dengan Perusahaan dalam PEMILUKADA Intan Jaya Tahun 2012. Pastilah bahwa Bupati terpilih telah menjual JANJI untuk eksploitasi SDA Intan Jaya. Dan, perusahaan meluncurkan “DANA” dalam jumlah besar guna membeli JANJI yang ditawarkan. Jika benar demikian, maka proses PEMILUKADA Intan Jaya didominasi oleh kekuatan pihak perusahaan. Ada pun keyakinan bahwa tindakan Bupati terpilih ini “membuktikan” bahwa ia terpilih bukan karena dipilih dan diangkat oleh masyarakat Intan Jaya, tetapi berkat kekuatan perusahaan.
Perjanjian adalah sebuah kesepakatan antar dua belah pihak yang saling menyatakan kesediaannya untuk diwujudkan. Kami yakin perjanjian dari pihak perusahaan sudah dinyatakan dan kini kita hadapi perwujudan janji Bupati terpilih. Namun dari pihaknya jelas bahwa perusahaan diijinkan, itulah pemenuhan janjinya. Karena itu, kami melihat “PERJANJIAN” Bupati terpilih Natalis Tabuni bukan semata-mata untuk mengijinkan perusahaan masuk di Intan Jaya guna mengeksploitasi SDA. Tetapi juga merupakan PERJANJIAN untuk menjual tuan tanah, alam dan manusia Intan Jaya (Moni-Migani).
Keyakinan tersebut berdasar pada tiga alasan fundamental. Alasan Pertama: Belajar dari pengalaman. Sejauh ini kami melihat perusahaan mana pun tidak pernah bertanggung jawab secara konfrehensif terhadap kesejahteraan pemilik SDA dan alam sekitarnya. Ada banyak contoh yang bisa dilihat di Papua, Indonesia dan dunia. Tetapi tidak perluh jauh-jauh. Buka mata dan lihat kerusakan alam Intan Jaya akibat eksploitasi “PT Mine Cervice” yang pernah bermarkas di ujung barat Air port Intan Jaya. Pandanglah alam disekelilingnya. Tidakkah sampah non organik berserakan di alam yang alamih? Adakah pohon besar yang bisa diolah? Dapatkah sungai Wabu tetap terlihat tanpa lumut berbauh? Dapatkah perusahaan menggantikan gunung “Bula” yang sudah ompong?
Kemudian muluskah penyelesaian masalah? Dalam hal ini kami pernah mendengar bahwa penyelesaian masalah kerusakan alam itu sangat ambur-aduk dan tidak tuntas. Meskipun para tokoh masyarakat Moni-Migani berulang kali menuntut tanggung jawa moral dari perusahaan. Tetapi tuntutan itu tidak ditanggapi secara serius sampai detik ini. Jika demikian bukankah masyarakat dan alam menjadi korban?
Alasan kedua: Usia Kabupaten Intan Jaya masih “balita”. Sebagai Kabupaten balita mestinya berkembang secara alamih (proses). Berproses melewati tahap-tahap perkembangan menuju kedewasaan. Sehingga pada tahap dewasa ia tidak merindukan masa lalunya yang muncul akibat kurang menikmati masa mudanya. Kini, kami mengkawatirkannya. Sebab Kabupaten Intan Jaya terkesan melompat ke dunia kedewasaan. Padahal masyarakat Intan Jaya belum siap untuk menerima dan bersaing. Contoh; pada tahun 2010 kami melihat secara langsung perubahan ideologi masyarakat secara drastis. Di mana ideologi masyarakat tradisional produktif beralih menjadi masyarakat konsumeris dan materialis instan. Kami melihat kebanyakan masyarakat nongkrong saja di tempat-tempat umum. Seperti bandar udara, pasar, kantor Bupati dan di pingiran jalan (pengoperasian proyek jalan dan kayu). Masyarakat ini terlihat malas berkebun. Terlihat mentalitas untuk hidup dari hasil penjualan tanah, pohon dan sumber alam lainnya. Dan, hasilnya bukan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan primer. Tetapi untuk berjudi, bersenang-senang di kota, mabuk-mabukan dan transportasi ojek. Akibat dari perubahan ideologi ini amat terasa dengan fenomena global kelaparan di kabupaten Intan Jaya sampai dengan saat ini.
Alasan ketiga: Minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) Intan Jaya. Pertanyaannya, Berapa banyak SDM lokal yang telah disiapkan untuk bekerja sebagai tenaga inti perusahaan? Supaya dengan mudah menjamin kontrolan keseimbangan antara eksploitasi – rehabilitasi alam dan eksploitasi – kesejahteraan hidup masyarakat pemilik SDA. Kami tahu realitas tingkat pendidikan masyarakat Intan Jaya untuk hidup berkecimpung dalam persaingan ekonomi dan disegala bidang pemerintahan. Itu amat minim. Apa lagi skill untuk bekerja secara profesional di perusahaaan yang diijinkan.
Pada hakekatnya kami tidak bermaksud menghalangi pembangunan. Tetapi kami menginginkan agar kebijakan pimpinan birokrasi terpilih itu jelas dan sesuai dengan tingkat kemapanan masyarakat untuk menerima, bersaing dan berkembang. Sehingga masyarakat, SDA dan alam di sekitarnya tidak menjadi korban.
Berkaitan dengan adanya ijin dari Bupati terpilih Intan Jaya untuk eksploitasi SDA itu terus akan kami pantau. Tetapi ternyata Perusahaan tetap diijinkan masuk beroperasi SDA dalam tahun-tahun yang dekat tanpa kordinasi dengan masyarakat Intan Jaya (termasuk mahasiswa), maka kami akan menilainya sebagai tindakan yang bersifat individual. Selain itu kami akan kordinasikan dengan perhimpunan mahasiswa dan masyarakat Intan Jaya yang berniat baik untuk melindungi alam dan peduli pada perkembangan mayarakat Intan Jaya, lalu bertindak. Karena bagi kami hal itu bukan untuk mendatangkan kontribusi positif dalam pembangunan daerah. Tetapi lebih bersifat pada penyelesaian masalah individual (ego).
Demi mewujudkan pembangunan Daerah secara konfrehensif, tuntas dan mendatangkan pendapatan Daerah serta menghindari kritikan akibat kebijakan yang kurang kontekstual, kami sarankan agar Pemerintah Intan Jaya terpilih segera komunikasikan hal itu dengan:
1. Pimpinan SKPD bidang yang hendak dikembangkan
2. Tokoh Dewan Adat
3. Tokoh Agama
4. Tokoh Pemuda
5. Tokoh perempuan dan
6. Mahasiswa
Kami menjamin keotentikan kebijakan yang dihasilkan Pemerintah, jika dikomunikasikan dengan enam komponen masyarakat tersebut. Sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dijalankan secara mulus, tanpa menuai kritikan dan ketegangan di berbagai pihak. Dengan demikian pembangunan Daerah dan manusia berjalan dengan harmonis serta kesejahteraan semakin dirasakan oleh setiap komponen masyarakat Intan Jaya.
Oleh: Yeheskiel Belau
Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Jayapura Papua.
0 komentar:
Posting Komentar